preloader

Rahasia di Balik Data Kemiskinan: BPS vs Bank Dunia, Mana yang Akurat?

Rahasia di Balik Data Kemiskinan: BPS vs Bank Dunia, Mana yang Akurat?

Perbedaan data kemiskinan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia baru-baru ini menjadi sorotan. BPS mencatat angka kemiskinan di Indonesia sebesar 24 juta jiwa (8,57% penduduk), sementara Bank Dunia melaporkan angka yang jauh lebih tinggi, yakni 194,6 juta jiwa (sekitar 70%).

Metode Perhitungan yang Berbeda: Inti Perbedaan Data Kemiskinan

BPS menjelaskan perbedaan ini bukan disebabkan kesalahan data, melainkan perbedaan metodologi. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach), yang menilai pengeluaran untuk makanan dan non-makanan.

Pendekatan ini bertujuan mengidentifikasi masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, sesuai konteks sosial-ekonomi Indonesia. Data ini sangat krusial untuk strategi penanggulangan kemiskinan pemerintah.

Bank Dunia: Perspektif Global dan Paritas Daya Beli

Berbeda dengan BPS, Bank Dunia menggunakan pendekatan global dengan indikator paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP). Mereka menggunakan ambang batas sekitar US$2,15 per hari per orang.

Metode Bank Dunia ini dirancang untuk perbandingan antar negara, sehingga kurang spesifik untuk konteks Indonesia. Hal ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam hasil perhitungan.

Respons Pemerintah dan Rekomendasi Penggunaan Data Resmi

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), telah merespon laporan Bank Dunia. Ia meminta masyarakat untuk tetap merujuk pada data resmi BPS.

Data BPS, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) 2025, menetapkan garis kemiskinan Rp600.000 per bulan per kapita. Angka ini didapatkan melalui pemetaan yang detail dan spesifik terhadap kondisi Indonesia.

Kesimpulannya, perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia berasal dari perbedaan metodologi dan fokus analisis. BPS menekankan pendekatan kebutuhan dasar yang spesifik untuk kondisi Indonesia, sedangkan Bank Dunia menggunakan pendekatan global berbasis paritas daya beli. Penting bagi publik untuk memahami perbedaan ini agar tidak terjadi misinterpretasi data.

Ke depannya, pemahaman mendalam akan metode pengukuran kemiskinan ini akan membantu publik dan pemerintah untuk menganalisis data dengan lebih akurat dan mengembangkan strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif dan tepat sasaran.

Related Post