Amazon mengumumkan pencapaian monumental dalam perjalanan otomatisasinya. Pada 30 Juni 2025, perusahaan raksasa e-commerce ini mengumumkan telah mengintegrasikan robot ke-1.000.000 ke dalam armada globalnya. Langkah ini mendorong Amazon semakin maju sebagai pemimpin dalam robotika dan kecerdasan buatan (AI) di bidang logistik, di tengah tren pemangkasan tenaga kerja di sektor teknologi.
Integrasi satu juta robot ini didukung oleh sistem AI generatif terbaru, bernama DeepFleet. Sistem ini diklaim akan meningkatkan efisiensi operasional Amazon secara signifikan.
Satu Juta Robot dan Sistem DeepFleet: Efisiensi Operasional Amazon
Scott Dresser, Wakil Presiden Amazon Robotics, menyebut pencapaian ini sebagai bukti nyata posisi Amazon sebagai produsen dan operator robotika seluler terbesar di dunia.
Armada robot ini tersebar di lebih dari 300 pusat pemenuhan pesanan di seluruh dunia. DeepFleet, sistem AI generatif yang mengendalikan robot-robot ini, diprediksi mampu memangkas waktu tempuh armada hingga 10 persen.
Dengan efisiensi yang meningkat, Amazon berharap dapat mempercepat proses pengiriman paket dan menekan biaya operasional. Dresser menekankan target utama DeepFleet adalah pengiriman yang lebih andal dan hemat sumber daya.
Perkembangan Robotika Amazon Sejak 2012: Dari Rak hingga Humanoid
Perjalanan otomatisasi Amazon dimulai pada tahun 2012. Saat itu, robot pertama dikerahkan untuk memindahkan rak inventaris di gudang.
Sejak saat itu, teknologi robotika Amazon berkembang pesat. Kini, terdapat robot yang mampu mengangkat beban hingga 568 kg dan robot otonom yang menavigasi jalur pemrosesan pesanan pelanggan.
Amazon bahkan tengah mengembangkan robot humanoid bertenaga AI yang mampu meniru gerakan manusia. Robot ini dijadwalkan untuk diuji coba di fasilitas Tesla pada akhir tahun 2025 sebagai bagian dari kemitraan riset kedua perusahaan.
Otomatisasi dan Dampaknya terhadap Ketenagakerjaan: Antara Efisiensi dan Kekhawatiran
Meskipun Amazon menekankan bahwa robot-robot ini dirancang untuk berkolaborasi dengan karyawan manusia, menangani tugas berat dan repetitif, serta menciptakan peluang kerja baru di bidang pemeliharaan dan teknik, kekhawatiran tentang dampak otomatisasi terhadap pekerjaan tetap ada.
Sebuah survei Pew Research menunjukkan bahwa para ahli AI dan publik sepakat bahwa pekerja pabrik adalah kelompok yang paling rentan terhadap kehilangan pekerjaan akibat kemajuan teknologi.
Amazon sendiri telah melakukan pemangkasan tenaga kerja dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun Dresser menyatakan bahwa pusat pemenuhan generasi terbaru di Shreveport, Louisiana, justru menambah 30% posisi di bidang keandalan, pemeliharaan, dan teknik, CEO Andy Jassy mengakui bahwa AI generatif dapat mengurangi jumlah karyawan yang mengerjakan tugas-tugas yang terotomatisasi.
Data Layoffs.fyi mencatat pemutusan hubungan kerja di sektor teknologi sepanjang tahun lalu mencapai angka yang signifikan. Laporan Forum Ekonomi Dunia juga menunjukkan banyak perusahaan di AS berencana mengurangi tenaga kerja mereka karena AI.
Otomatisasi memang menawarkan efisiensi dan kecepatan yang lebih tinggi, tetapi di sisi lain, menimbulkan pertanyaan penting tentang masa depan pekerjaan dan peran manusia dalam rantai pasokan digital. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan keuntungan otomatisasi dengan kebutuhan akan keamanan pekerjaan dan perkembangan keterampilan manusia di era digital.
Langkah Amazon menunjukkan ambisi besar dalam optimasi rantai pasokan melalui teknologi robotika dan AI. Namun, dampak sosial dan ekonomi dari otomatisasi ini perlu terus dikaji dan diantisipasi dengan strategi yang tepat agar transisi ini berjalan adil dan berkelanjutan.