preloader

Ancaman Iran, AS Pacu Produksi Minyak Cegah Krisis Energi

Ancaman Iran, AS Pacu Produksi Minyak Cegah Krisis Energi

Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan produksi minyak mentah di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dengan Iran. Perintah ini dikeluarkan menyusul ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, jalur pelayaran vital bagi perdagangan minyak global.

Pernyataan Trump disampaikan melalui platform media sosialnya, Truth Social. Ia dengan tegas mengatakan, “Bor sayang, bor. Maksud saya sekarang, meskipun tidak ada gangguan minyak besar setelah pemboman Iran,” menunjukkan urgensi atas perintah tersebut.

Dalam unggahan terpisah, Trump juga menekankan pentingnya menjaga harga minyak tetap rendah. “Semua orang, pertahankan harga minyak tetap rendah, saya mengawasi! Kalian bermain sesuai keinginan musuh, jangan lakukan itu,” tulisnya. Pernyataan ini menunjukkan keprihatinan Trump terhadap dampak potensial dari konflik terhadap perekonomian AS dan global.

Menanggapi arahan Presiden, Menteri Energi AS, Chris Wright, menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan produksi minyak. “Kami akan melakukannya!” ujarnya singkat, menunjukkan komitmen Departemen Energi untuk melaksanakan perintah tersebut.

Namun, detail mekanisme peningkatan produksi minyak oleh Departemen Energi AS belum dijelaskan secara rinci. Pertanyaan mengenai langkah-langkah konkret yang akan diambil masih belum mendapatkan tanggapan resmi. Tantangannya terletak pada kemampuan industri minyak AS untuk merespon dengan cepat dan efektif terhadap permintaan mendadak ini.

Konflik Israel-Iran dan Dampaknya pada Pasar Minyak

Ketegangan antara Israel dan Iran telah meningkat tajam. Serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran telah memicu lonjakan harga minyak dunia hingga lebih dari 9 persen pada Jumat (13 Juni 2025), mencapai level tertinggi dalam hampir lima bulan.

Keterlibatan AS dalam konflik, dengan memberikan dukungan kepada Israel dalam serangan ke fasilitas nuklir Natanz, Fordo, dan Isfahan, semakin memperkeruh situasi. Hal ini mendorong Iran untuk mempertimbangkan penutupan Selat Hormuz.

Ancaman penutupan Selat Hormuz merupakan ancaman serius bagi perekonomian global. Selat ini merupakan jalur perdagangan sekitar 20 juta barel minyak per hari (BOPD), atau sekitar 20 persen dari konsumsi minyak global. Penutupan selat tersebut akan menyebabkan gangguan besar pada pasokan minyak dunia, dan berpotensi memicu krisis energi global.

Analisis Goldman Sachs

Goldman Sachs, dalam sebuah laporan riset, memprediksi kenaikan harga minyak hingga US$110 per barel jika Selat Hormuz ditutup. Bank investasi ini memperkirakan harga minyak mentah Brent akan melonjak mencapai angka tersebut jika distribusi minyak melalui selat tersebut terganggu.

Namun, Goldman Sachs juga memproyeksikan stabilisasi harga minyak pada kisaran US$95 per barel pada kuartal keempat tahun 2025, setelah periode ketidakpastian awal akibat penutupan Selat Hormuz. Proyeksi ini tetap bergantung pada berbagai faktor, termasuk respon pasar dan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan industri untuk mengatasi gangguan pasokan.

Perintah Trump untuk meningkatkan produksi minyak AS dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi dampak potensial dari penutupan Selat Hormuz terhadap harga minyak dunia dan stabilitas ekonomi global. Namun, keberhasilan upaya ini bergantung pada berbagai faktor, termasuk kemampuan industri minyak AS untuk merespon dengan cepat dan efektif, serta evolusi situasi geopolitik di Timur Tengah.

Situasi ini menyoroti kerentanan perekonomian global terhadap ketidakstabilan geopolitik di wilayah penghasil minyak utama. Ketegangan di Timur Tengah selalu memiliki dampak signifikan terhadap pasar energi global, dan peristiwa terkini sekali lagi menekankan pentingnya diversifikasi sumber energi dan strategi mitigasi risiko.

Related Post