Presiden AS Donald Trump memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan produksi minyak mentah. Perintah ini dikeluarkan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, khususnya ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak global.
Pernyataan Trump disampaikan melalui platform media sosial Truth Social. Ia menekankan pentingnya meningkatkan produksi minyak dengan mengatakan, “Bor sayang, bor. Maksud saya sekarang, meskipun tidak ada gangguan minyak besar setelah pemboman Iran.”
Trump juga secara eksplisit memerintahkan agar harga minyak tetap rendah. Dalam unggahan terpisah di Truth Social, ia menulis dengan huruf kapital, “Semua orang, pertahankan harga minyak tetap rendah, saya mengawasi! Kalian bermain sesuai keinginan musuh, jangan lakukan itu.”
Menanggapi perintah tersebut, Menteri Energi AS, Chris Wright, menyatakan komitmennya untuk segera meningkatkan produksi. Ia memberikan respon singkat, “Kami akan melakukannya!” Namun, belum jelas secara spesifik langkah-langkah apa yang akan diambil Departemen Energi AS untuk mencapai target tersebut.
Ketegangan di Timur Tengah meningkat tajam setelah serangan Israel ke Iran. Serangan tersebut memicu lonjakan harga minyak dunia lebih dari 9 persen pada Jumat, 13 Juni 2025, mencapai level tertinggi dalam hampir lima bulan.
Situasi semakin memanas setelah Amerika Serikat turut campur dengan membantu Israel menyerang tiga situs nuklir Iran: fasilitas pengayaan uranium Natanz, Fordo, dan Isfahan. Hal ini memicu ancaman dari Iran untuk menutup Selat Hormuz.
Ancaman penutupan Selat Hormuz sangat signifikan bagi perekonomian global. Selat ini merupakan jalur perdagangan sekitar 20 juta barel minyak per hari (BOPD), atau sekitar 20 persen dari konsumsi minyak dunia. Penutupan selat ini akan berdampak pada pasokan minyak global dan berpotensi memicu krisis energi.
Dampak Potensial Penutupan Selat Hormuz
Penutupan Selat Hormuz tidak hanya akan berdampak pada perdagangan minyak mentah, tetapi juga pada perdagangan gas alam cair (LNG). Hal ini akan menyebabkan gangguan rantai pasokan global yang signifikan dan berdampak luas pada berbagai sektor ekonomi.
Goldman Sachs, dalam sebuah catatan riset, memprediksi harga minyak mentah Brent bisa melonjak hingga US$110 per barel jika distribusi minyak melalui Selat Hormuz terganggu. Meskipun demikian, bank investasi tersebut memperkirakan harga akan stabil di sekitar US$95 per barel pada kuartal keempat tahun 2025.
Analisis Lebih Lanjut
Perintah Trump untuk meningkatkan produksi minyak di tengah ancaman penutupan Selat Hormuz menunjukkan upaya untuk mengurangi dampak potensial krisis energi. Namun, keberhasilan upaya ini bergantung pada berbagai faktor, termasuk kemampuan industri minyak AS untuk meningkatkan produksi secara signifikan dalam waktu singkat.
Selain itu, reaksi pasar internasional terhadap ancaman Iran dan campur tangan AS akan memainkan peran penting dalam menentukan harga minyak di masa mendatang. Ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah akan terus mempengaruhi pasar energi global.
Perlu diingat bahwa angka-angka yang disebutkan, seperti proyeksi harga minyak oleh Goldman Sachs, merupakan prediksi dan dapat berubah tergantung pada perkembangan situasi di lapangan.
Secara keseluruhan, situasi ini menyoroti kerentanan ekonomi global terhadap ketidakstabilan geopolitik di Timur Tengah dan pentingnya diversifikasi sumber energi serta jalur perdagangan untuk mengurangi risiko gangguan pasokan.