Pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berencana menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp 600.000 untuk periode Juni-Juli 2025. Program ini menargetkan sekitar 17,3 juta pekerja formal. Namun, sejumlah kalangan meragukan efektivitasnya.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, mengungkapkan kekhawatirannya. Meskipun nominal BSU terkesan besar, realitanya banyak pekerja berpenghasilan rendah yang akan kesulitan memenuhi persyaratan penerimanya.
Daftar Baca
Pertanyaan Efektivitas BSU 2025
Achmad mempertanyakan apakah BSU benar-benar tepat sasaran. Ia menilai program ini berpotensi menjadi populis fiskal yang terlambat dan jumlahnya terlalu sedikit untuk mengatasi tekanan biaya hidup yang semakin tinggi.
Ia menekankan pentingnya BSU 2025 untuk meningkatkan daya beli pekerja berpenghasilan rendah. Peningkatan daya beli ini diharapkan dapat mendorong konsumsi barang-barang pokok.
Sebagai analogi, Achmad membandingkan BSU sebagai tambahan bensin untuk sepeda motor yang hampir kehabisan. Tanpa tambahan, perjalanan akan terhenti. Demikian pula, tanpa BSU yang memadai, daya beli masyarakat akan tetap rendah.
Masalah Data Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan
Salah satu kendala utama adalah data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Data tersebut belum mencakup jutaan pekerja informal, honorer, dan tenaga kontrak di sektor mikro.
Akurasi data yang kurang valid berdampak pada penyaluran BSU yang tidak tepat sasaran. Pekerja marginal yang paling membutuhkan justru terabaikan karena terjebak dalam gap data.
Efektivitas Jangka Pendek: Stimulus yang Terlambat dan Terbatas
Di tengah perlambatan ekonomi global, pemerintah membutuhkan stimulus cepat. BSU merupakan instrumen fiskal jangka pendek untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Namun, nilai BSU sebesar Rp 600.000 untuk dua bulan dinilai simbolis. Jumlah tersebut tergolong kecil dibandingkan lonjakan harga komoditas pokok dan transportasi yang mencapai puluhan persen.
Proses verifikasi yang rumit dan pencairan yang tertunda mengurangi efektivitas program ini. Hal ini membuat dampak positif BSU menjadi minimal, layaknya obat yang sudah kadaluarsa.
Perbandingan dengan Instrumen Stimulus Lainnya
Dibandingkan insentif pajak dan program padat karya, BSU memiliki keunggulan implementasi yang cepat. Kecepatan ini akan terwujud bila data penerima akurat.
Namun, kendala administrasi menghambat kecepatan penyalurannya. Insentif pajak diibaratkan sebagai fondasi rumah untuk investasi jangka panjang, sementara BSU hanya menambal atap yang bocor.
Program padat karya lebih efektif karena menciptakan lapangan kerja dan infrastruktur. Akan tetapi, program ini membutuhkan waktu perencanaan dan melibatkan banyak pihak.
BSU yang terlambat dan jumlahnya terbatas hanya memberikan dampak kecil terhadap pemulihan ekonomi. Program ini belum cukup kuat untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Secara keseluruhan, meskipun pemerintah berupaya memberikan bantuan melalui BSU, efektivitasnya patut dipertanyakan. Ketepatan sasaran dan kecepatan penyaluran menjadi kunci keberhasilan program ini. Perbaikan data kepesertaan dan penyederhanaan prosedur sangat penting untuk memastikan bantuan benar-benar tepat sasaran dan mampu memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama pekerja berpenghasilan rendah yang paling membutuhkannya.