Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus mendorong hilirisasi mineral, termasuk nikel, meskipun menghadapi tekanan global yang signifikan. Tekanan ini datang dari berbagai pihak, termasuk gugatan Uni Eropa ke WTO, tarif dari Amerika Serikat, dan kampanye negatif terkait dampak lingkungan.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan bahwa kampanye negatif tersebut tidak adil dan mengesampingkan manfaat ekonomi yang signifikan dari industri nikel bagi Indonesia. Mereka menekankan peningkatan pendapatan daerah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Hilirisasi Nikel: Tantangan dan Peluang
Indonesia saat ini menguasai lebih dari 60% pangsa pasar produksi nikel dunia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran beberapa negara yang bergantung pada pasokan nikel Indonesia, terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik.
Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, menjelaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam industri nikel menimbulkan kekhawatiran dari negara lain. Mereka khawatir Indonesia menguasai bahan baku penting untuk energi masa depan.
APNI mengajak semua pihak untuk melihat manfaat positif dari industri nikel, seperti peningkatan pendapatan daerah di Sulawesi dan Maluku Utara, serta penyerapan tenaga kerja. Industri ini juga berkontribusi besar terhadap PNBP negara.
Komitmen Berkelanjutan dan Transisi Energi
APNI berkomitmen terhadap industri hijau dan sedang melakukan transisi energi dengan menggunakan teknologi baru, seperti truk dan alat berat listrik (EV). Upaya pelestarian lingkungan juga menjadi fokus utama.
APNI bekerja sama dengan para ahli untuk mengatasi masalah pencemaran air agar dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan dapat diminimalisir. Mereka berupaya untuk mengekstrak pencemaran air sehingga tidak mengganggu kehidupan masyarakat.
Harita Nickel dan Vale Indonesia, anggota APNI, tengah menjalani audit oleh Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), sebuah lembaga independen yang menilai praktik pertambangan yang bertanggung jawab. Standar IRMA dikenal sangat ketat dan sulit dipenuhi.
APNI juga telah melakukan kunjungan ke produsen mobil listrik ternama seperti Tesla, Mercedes-Benz, dan BMW untuk mendapatkan masukan mengenai rantai pasok nikel. Mereka berharap agar standar keberlanjutan dapat disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 95 smelter nikel dan akan bertambah menjadi 145 smelter. APNI telah meminta pemerintah untuk menghentikan investasi smelter baru karena dikhawatirkan melebihi kapasitas cadangan nikel yang ada.
Perang Dagang dan Masa Depan Hilirisasi
Ahli hukum energi dan pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menilai serangan terhadap hilirisasi mineral Indonesia sebagai bentuk perang dagang. Larangan ekspor bijih nikel Indonesia pada tahun 2020 telah mengubah peta perdagangan nikel dunia.
Sebelum larangan ekspor, Indonesia mengekspor 30 juta ton bijih nikel pada tahun 2019. Langkah ini kemudian berujung pada gugatan dari Uni Eropa ke WTO.
Redi menekankan pentingnya Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan, mulai dari gugatan WTO hingga kampanye negatif terkait lingkungan, agar upaya peningkatan nilai tambah mineral tidak terhambat. Hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ke depan, keberhasilan hilirisasi nikel Indonesia akan bergantung pada kemampuan pemerintah dan industri untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan kerja sama internasional. Komitmen terhadap praktik pertambangan yang bertanggung jawab akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tekanan global.