Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, mengusulkan kenaikan pajak rumah tapak untuk mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal. Usulan ini bertujuan meningkatkan efisiensi ruang kota dan mendukung urbanisasi berkelanjutan. Namun, usulan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk ekonom dan pakar kebijakan publik.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, menyatakan keprihatinannya terhadap wacana tersebut. Ia mempertanyakan keadilan dan dampak sosial dari kebijakan ini bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Menolak Keras Kenaikan Pajak Rumah Tapak
Achmad Nur Hidayat secara tegas menolak usulan kenaikan pajak rumah tapak. Ia berpendapat bahwa usulan ini bukan hanya masalah teknis, melainkan menyangkut aspek sosial ekonomi yang krusial bagi masyarakat.
Menurutnya, kebanyakan masyarakat memilih rumah tapak bukan karena gaya hidup, melainkan karena keterbatasan ekonomi dan akses terhadap hunian vertikal yang layak. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan mereka.
Ia menekankan bahwa pemilikan rumah tapak seringkali menjadi satu-satunya aset berharga yang dimiliki keluarga, dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Kebijakan ini dianggap tidak adil dan mengabaikan realita tersebut.
Kebijakan yang Tak Selesaikan Masalah Perumahan
Achmad berpendapat bahwa alih-alih menyelesaikan masalah backlog perumahan, kebijakan ini justru berpotensi memperparah situasi. Harga rumah tapak yang semakin tinggi dan ketersediaan rusun yang masih terbatas akan mendorong masyarakat ke permukiman kumuh.
Mereka yang kesulitan membeli rumah tapak karena kenaikan pajak, akan dipaksa mencari alternatif hunian yang tidak layak, seperti kontrakan sempit atau bahkan hunian ilegal. Hal ini justru akan meningkatkan permasalahan sosial.
Sebagai solusi yang lebih adil, Achmad menyarankan pemerintah untuk memfokuskan pajak pada pemilik properti mewah yang digunakan untuk spekulasi atau investasi. Hal ini akan lebih efektif untuk mengendalikan harga properti dan meningkatkan ketersediaan hunian bagi masyarakat.
Dampak Ekonomi Makro dari Penurunan Permintaan Rumah Tapak
Dari sudut pandang ekonomi makro, Achmad menjelaskan bahwa sektor perumahan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan berbagai sektor lain. Penurunan permintaan rumah tapak akan berdampak signifikan pada sektor riil dan lapangan kerja.
Industri bahan bangunan, jasa konstruksi, transportasi, dan jasa keuangan akan ikut terdampak. Penurunan permintaan akan berakibat pada penurunan produksi dan potensi pengangguran di sektor-sektor terkait.
Oleh karena itu, Achmad menyarankan agar pemerintah fokus pada pembangunan rusun dengan perencanaan yang matang dan terintegrasi. Pendekatan ini lebih baik daripada mengupayakan pengalihan permintaan dari rumah tapak secara paksa.
Pemerintah perlu memastikan rusun yang dibangun memenuhi standar kualitas dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hanya dengan demikian, program tersebut akan efektif dan berkeadilan.
Kesimpulannya, usulan kenaikan pajak rumah tapak menimbulkan keresahan dan dinilai tidak menyelesaikan masalah perumahan secara menyeluruh. Pemerintah perlu mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dan dampak makro sebelum menerapkan kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat banyak.
Solusi yang lebih berkelanjutan adalah dengan membangun rusun yang berkualitas dan terjangkau, serta penerapan pajak progresif yang lebih adil pada properti mewah. Hal ini akan lebih efektif dalam mengatasi masalah perumahan dan menciptakan keadilan sosial.