Pemerintah Indonesia berencana menerapkan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) bagi pedagang di platform *e-commerce*. Marketplace seperti Tokopedia dan Shopee akan bertindak sebagai pemungut pajak untuk transaksi pedagang dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi praktik ekonomi informal.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, menjelaskan bahwa ini bukan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pelaporan pajak. Sistem pelaporan pajak akan beralih dari sistem mandiri menjadi pemungutan otomatis di sumber transaksi. Hal ini mirip dengan pedagang pasar tradisional yang membayar retribusi kepada pengelola pasar.
Daftar Baca
Perubahan Skema Pelaporan Pajak *E-commerce*
Penerapan PPh 22 ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan. Dengan sistem ini, diharapkan kepatuhan pajak pedagang *e-commerce* meningkat. Selain itu, pemerintah juga berupaya menutup celah ekonomi bayangan (*shadow economy*) yang selama ini sulit dipantau.
Pemerintah berharap adanya efisiensi administrasi dan peningkatan penerimaan negara. Namun, masih ada pertanyaan mengenai kesetaraan perlakuan pajak antara *marketplace* lokal dan raksasa teknologi global.
Ketimpangan Pajak: *Marketplace* Lokal vs. Raksasa Global
Achmad Nur Hidayat mempertanyakan mengapa hanya *marketplace* lokal yang menjadi sasaran kebijakan ini. Pendapatan digital Indonesia sebagian besar dinikmati perusahaan global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix.
Keadilan fiskal menuntut kontribusi seimbang dari semua pelaku ekonomi digital, tanpa memandang asal negara. Pertanyaan ini semakin relevan mengingat langkah Kanada yang memberlakukan Digital Services Tax (DST) pada Juni 2024.
Belajar dari Digital Services Tax (DST) Kanada
Kanada menerapkan DST sebesar 3% pada pendapatan digital perusahaan teknologi global. Syaratnya, perusahaan tersebut harus memiliki omzet di atas €750 juta dan pendapatan di Kanada melebihi USD 20 juta.
DST Kanada berlaku surut sejak Januari 2022. Pajak ini menargetkan pendapatan iklan, data pengguna, dan *online marketplace*. Pendapatan ini sebelumnya luput dari pajak korporasi Kanada.
Respons AS terhadap DST Kanada
Presiden Trump, pada 27 Juni 2025, menanggapi keras DST Kanada. Ia memutuskan negosiasi dagang AS-Kanada, menyebut DST sebagai diskriminasi terhadap perusahaan AS.
Google merespons dengan mengenakan biaya tambahan (*surcharge*) kepada pengiklan di Kanada untuk menutupi beban DST. Hal ini menunjukkan dampak luas dari kebijakan perpajakan digital.
PPh 22 dan DST: Kesamaan dan Perbedaan
Indonesia menghadapi urgensi yang sama dengan Kanada. Ekonomi digital Indonesia didominasi perusahaan teknologi global. Pajak yang berlaku saat ini, yaitu PPN PMSE 11%, tidak mencakup keuntungan yang ditarik keluar negeri.
PPh 22 memang menutup celah ekonomi bayangan domestik. Namun, kebijakan ini meninggalkan ketidakseimbangan dalam keadilan fiskal digital. Raksasa digital global masih bisa mengekstrak nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi fiskal yang proporsional.
Ketimpangan dalam Keadilan Fiskal Digital
*Marketplace* lokal dikenakan pajak, UMKM digital didorong untuk patuh pajak. Sementara itu, perusahaan global hanya dikenakan PPN PMSE tanpa DST atas keuntungan mereka. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dan perlu mendapat perhatian serius.
Situasi ini memerlukan pertimbangan lebih lanjut untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan efektif. Pemerintah perlu mencari solusi yang bisa mengoptimalkan penerimaan negara tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi digital.
Pendekatan yang lebih komprehensif dan berimbang perlu dipertimbangkan untuk memastikan keadilan fiskal dan menciptakan lingkungan bisnis yang sehat bagi semua pelaku ekonomi digital, baik lokal maupun global. Dengan demikian, Indonesia dapat memaksimalkan potensi ekonomi digital tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan kesetaraan.