Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana merevisi sejumlah regulasi terkait aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Langkah ini diambil menyusul polemik izin tambang nikel di lima pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Revisi bertujuan untuk menyelaraskan aturan sektoral yang saat ini masih tumpang tindih, guna mencegah konflik dan kerusakan lingkungan.
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan (DJPK) KKP, Ahmad Aris, menyatakan perlunya harmonisasi peraturan. “Ke depan KKP akan melakukan review terhadap peraturan yang terkait di pulau-pulau kecil. Supaya terjadi harmonisasi. Jadi jangan sampai undang-undang ini tidak sinkron antara undang-undang yang ada,” ungkap Aris.
Secara hukum, pulau-pulau kecil memiliki status perlindungan yang ketat. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), pulau dengan luas di bawah 10 ribu hektare dikategorikan sebagai *tiny island* atau pulau sangat kecil. Lima pulau di Raja Ampat termasuk dalam kategori ini.
Peraturan yang Berlaku dan Konflik Kewenangan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menetapkan bahwa kegiatan pertambangan bukanlah prioritas utama di pulau kecil. Pasal 23 secara tegas menyebutkan hal ini. Lebih lanjut, UU tersebut melarang kegiatan tambang di pulau kecil jika terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan atau menimbulkan dampak sosial. Bahkan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan yang melarang hal tersebut.
Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan kewenangan antar instansi. Contohnya, lokasi tambang di Raja Ampat berada di kawasan hutan, sehingga perizinannya dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui sistem OSS (Online Single Submission). KKP sendiri memberikan izin di areal penggunaan lain (APL) sesuai rencana tata ruang.
Aris menekankan perlunya harmonisasi aturan, termasuk kewenangan pemberian izin dan rekomendasi. KKP berharap tidak hanya berwenang di wilayah APL, tetapi juga turut terlibat dalam kawasan hutan yang berada di pulau kecil. “Jadi memang ini perlu ke depan harmonisasi terhadap kewenangan KKP di dalam pemberian izin. Tidak hanya di APL, tapi juga di kawasan hutan,” jelasnya.
Pengawasan dan Dampak Lingkungan
KKP melalui tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) melakukan pengawasan di lapangan. Namun, pengamatan dampak lingkungan membutuhkan waktu, tergantung kondisi cuaca dan arus laut. Dampak utama yang diantisipasi adalah sedimentasi yang merusak ekosistem pesisir seperti terumbu karang dan padang lamun.
Aris menjelaskan bahwa sedimentasi mengganggu ekosistem pesisir, yang merupakan tempat memijah ikan dan lokasi kegiatan wisata bahari. KKP memiliki basis data pulau-pulau kecil yang dapat diakses publik melalui sistem SIAP (Sistem Informasi Pulau-Pulau Kecil), meskipun belum *real-time*. KKP juga aktif melakukan inventarisasi praktik tambang di pulau kecil di daerah lain.
Polemik Tambang Raja Ampat dan Langkah Korektif
Polemik tambang di Raja Ampat mencuat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat lima perusahaan pemegang izin tambang nikel di lima pulau kecil. Dua perusahaan mendapat izin dari pemerintah pusat, sementara tiga lainnya dari pemerintah daerah. Presiden telah mencabut empat dari lima izin tersebut.
Sebagai langkah korektif, selain revisi regulasi, KKP akan meningkatkan pengawasan dan memperkuat koordinasi antar instansi terkait. Hal ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan ekosistem laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Penting untuk diingat bahwa perlindungan pulau-pulau kecil merupakan tanggung jawab bersama.
Ke depan, perlu adanya transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait pertambangan di pulau-pulau kecil. Evaluasi berkala terhadap dampak lingkungan juga krusial untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam.