Harga minyak dunia mengalami lonjakan signifikan pada Jumat, 13 Juni 2025, mencatatkan kenaikan persentase harian terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran akan meluasnya konflik di Timur Tengah, yang berpotensi mengganggu pasokan energi global secara serius. Situasi ini menimbulkan dampak luas di berbagai sektor, termasuk pasar saham dan investasi safe haven.
Harga minyak Brent melonjak 4,3% menjadi US$ 72,4 per barel, sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 5% menjadi US$ 71,4 per barel. Kenaikan intraday ini merupakan yang terbesar sejak Maret 2022, setelah Rusia menginvasi Ukraina.
Serangan Israel terhadap Iran dan Dampaknya terhadap Harga Minyak
Serangan mendadak yang dilancarkan Israel terhadap fasilitas nuklir dan rudal Iran pada Jumat pagi telah menjadi pemicu utama lonjakan harga minyak. Serangan ini menewaskan sedikitnya dua komandan militer tinggi Iran.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa “operasi militer yang ditargetkan” tersebut diperkirakan akan berlanjut selama beberapa hari. Israel juga mengumumkan keadaan darurat untuk mengantisipasi kemungkinan pembalasan dari Iran.
Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, mengancam akan memberikan “hukuman berat” kepada Israel atas serangan tersebut. Ketegangan geopolitik yang meningkat ini memicu kekhawatiran investor akan eskalasi konflik.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menegaskan bahwa AS tidak terlibat dalam operasi Israel dan memperingatkan Iran untuk tidak menyerang kepentingan atau personel AS.
Reaksi Pasar dan Dampak Geopolitik
Lonjakan harga minyak menyebabkan penurunan di pasar ekuitas AS. Investor beralih ke aset safe haven seperti emas, yang harganya naik sekitar 1% menjadi US$ 3.413,6 per troy ounce.
Kontrak berjangka Dow turun tajam 1,3% (lebih dari 540 poin), sementara kontrak berjangka S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing turun 1,4% dan 1,6%. Kondisi ini menunjukkan ketidakpastian pasar yang tinggi.
Ahmad Assiri, Research Strategist Pepperstone, menilai lonjakan harga minyak mencerminkan kekhawatiran akan gangguan pasokan langsung dan meningkatnya berita negatif yang dapat memperpanjang eskalasi konflik. Ia membandingkan situasi ini dengan episode konflik Israel-Iran sebelumnya.
Kekhawatiran Terhadap Konflik yang Lebih Luas dan Potensi Kenaikan Harga Minyak
Kekhawatiran utama yang memicu kenaikan harga minyak adalah potensi meluasnya konflik di Timur Tengah. Aliran minyak melalui Selat Hormuz, jalur vital untuk pasokan minyak global, menjadi sorotan utama.
Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates, memperkirakan harga minyak bisa melonjak sekitar US$ 7,50 per barel jika konflik menghilangkan minyak Iran dari pasar. Ia juga menyinggung sensitivitas isu harga energi bagi pemerintahan AS.
Bob McNally, Presiden Rapidan Energy Group, mencatat bahwa pasar minyak sebelumnya cenderung mengabaikan risiko gangguan geopolitik dari kawasan tersebut. Ia memperkirakan premi risiko akan jauh lebih besar dan memengaruhi harga minyak mentah dalam beberapa hari ke depan.
Priyanka Sachdeva, analis pasar senior di Phillip Nova, memperingatkan bahwa persiapan Iran untuk pembalasan militer meningkatkan risiko gangguan pasokan minyak, bahkan potensi penularan ke negara-negara penghasil minyak tetangga. Keterlibatan AS dalam konflik ini juga akan semakin meningkatkan kekhawatiran pasar.
Kesimpulannya, serangan Israel terhadap Iran telah memicu kenaikan harga minyak yang signifikan dan meningkatkan ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah. Potensi meluasnya konflik dan gangguan pasokan minyak melalui Selat Hormuz menjadi ancaman serius yang perlu diwaspadai. Ke depan, perkembangan situasi di Timur Tengah akan terus menjadi faktor penentu utama pergerakan harga minyak dunia. Efek domino dari konflik ini, termasuk dampaknya terhadap pasar saham dan investasi safe haven, patut untuk dipantau secara ketat.