Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) kian mendekati tahap akhir. Informasi terbaru mengenai struktur organisasinya telah terungkap, menimbulkan perhatian publik karena melibatkan Panglima TNI dan Kapolri sebagai anggota Dewan Pengawas. Dokumen internal berjudul “Operasionalisasi Program Hasil Terbaik Cepat” yang diperoleh Liputan6.com menjadi sumber informasi ini.
Presiden Prabowo Subianto memandang pembentukan BOPN sebagai langkah krusial untuk meningkatkan kinerja sistem perpajakan Indonesia. Lembaga ini dirancang untuk memisahkan fungsi pengumpulan pajak dari regulasi fiskal. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerimaan negara.
Struktur Organisasi BOPN: Gabungan Kekuasaan Eksekutif dan Keamanan
Struktur organisasi BOPN, berdasarkan dokumen “Operasionalisasi Program Hasil Terbaik Cepat,” menunjukkan adanya gabungan kekuasaan eksekutif dan unsur keamanan. Hal ini terlihat dari keterlibatan Panglima TNI dan Kapolri dalam Dewan Pengawas.
Menteri Negara/Kepala BOPN akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dewan Pengawas terdiri dari Menko Perekonomian, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala PPATK, dan empat anggota independen. Komposisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai keseimbangan kekuasaan dan potensi konflik kepentingan.
Dua Wakil Kepala BOPN akan membantu Menteri Negara, masing-masing menangani Operasi dan Urusan Dalam. Wakil Kepala Urusan Dalam dibantu Inspektorat Utama dan Sekretaris Utama Badan. Enam Deputi akan mengelola berbagai bidang, termasuk perencanaan, pengawasan, penegakan hukum, dan intelijen.
Penolakan Sri Mulyani dan Implikasinya
Meskipun mendapat dukungan dari Presiden, rencana pembentukan BOPN mendapat penolakan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Penolakan tersebut didasarkan pada pertimbangan administratif dan keraguan atas efektivitas BOPN dalam mempercepat reformasi penerimaan negara.
Edi Slamet Irianto, mantan Dewan Pakar TKN Bidang Perpajakan dan Penerimaan Negara, menilai penolakan tersebut sebagai bentuk superioritas Menkeu yang mengabaikan wewenang Presiden dalam hal fiskal. Ia juga menuding Menkeu berjalan di luar kebijakan Presiden, seperti penolakan terhadap target pertumbuhan ekonomi 8% dan pembentukan BOPN. Hal ini menunjukkan adanya potensi konflik antara eksekutif dalam pengambilan kebijakan ekonomi.
Kritik Terhadap Struktur Kementerian Keuangan dan Implementasi Kebijakan Pajak
Selain penolakan terhadap BOPN, Edi Slamet Irianto juga mengkritik keputusan Menkeu untuk memperluas struktur Kementerian Keuangan dengan membentuk Badan Intelijen Keuangan Negara. Ia berpendapat keputusan ini justru memperumit birokrasi dan tidak selaras dengan upaya perampingan organisasi.
Rendahnya penerimaan negara sering dikaitkan dengan kondisi ekonomi global. Namun, menurut Edi, pemerintah belum memberikan solusi konkret untuk meningkatkan penerimaan. Program Tax Amnesty dan implementasi core tax system yang dijanjikan belum menunjukkan hasil yang signifikan. Ketidakjelasan implementasi program ini patut mendapat perhatian serius.
Keberhasilan reformasi perpajakan di Indonesia sangat bergantung pada koordinasi dan kolaborasi antar lembaga. Perdebatan seputar pembentukan BOPN menunjukkan pentingnya komunikasi yang efektif antara Presiden dan para menteri dalam merumuskan kebijakan fiskal yang berdampak luas bagi perekonomian negara. Ke depan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara harus terus ditingkatkan.