Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tegas menolak penerapan pajak penghasilan satu tarif (flat tax) di Indonesia.
Ia menyatakan hal tersebut dalam CNBC Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Penolakan Flat Tax: Keadilan Distributif sebagai Pilar Sistem Fiskal Indonesia
Sri Mulyani menekankan bahwa sistem fiskal Indonesia dirancang untuk menjamin keadilan distributif.
Artinya, instrumen fiskal difungsikan untuk memastikan pembagian beban dan manfaat pembangunan yang adil.
Sistem tarif progresif PPh orang pribadi menjadi contoh nyata penerapan prinsip ini.
Wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif berbeda dengan mereka yang berpenghasilan di bawah Rp60 juta per tahun.
Ini selaras dengan asas keadilan, yaitu pembagian beban pajak yang proporsional berdasarkan kemampuan ekonomi.
Perbandingan dengan Usulan Flat Tax: Potensi Keuntungan dan Kerugian
Berbeda dengan pandangan Sri Mulyani, ekonom Amerika Serikat, Arthur Laffer, mengusulkan skema flat tax dengan tarif rendah dan basis pajak luas.
Laffer berargumen bahwa sistem ini akan meningkatkan pendapatan negara secara signifikan tanpa diskriminasi.
Sistem flat tax menerapkan tarif pajak yang sama untuk semua lapisan pendapatan, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi wajib pajak.
Meskipun sederhana dan efisien, flat tax menuai perdebatan karena berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi.
Sistem ini dinilai membebani kelompok berpenghasilan rendah secara proporsional lebih besar dibanding sistem progresif.
Pentingnya Peran Fiskal dalam Mengurangi Ketimpangan: Investasi untuk Keadilan Sosial
Sri Mulyani menegaskan bahwa fungsi distribusi pajak sangat krusial untuk menciptakan kesetaraan.
Ia mencontohkan perbedaan peluang antara anak yang terjamin gizinya dengan anak yang kurang gizi.
Pajak digunakan untuk membiayai program-program pemerintah yang menunjang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Indonesia saat ini menerapkan tarif PPh badan 22 persen, lebih rendah dibanding rata-rata global (30-50 persen).
Meski demikian, penerimaan pajak tetap digunakan untuk membantu masyarakat miskin mengakses layanan dasar.
Dengan demikian, sistem pajak progresif dianggap lebih adil dan selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya secara efektif guna mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Kesimpulannya, penolakan terhadap flat tax oleh pemerintah Indonesia didasari pada komitmen untuk mewujudkan keadilan distributif dan mengurangi ketimpangan sosial ekonomi melalui instrumen fiskal yang tepat sasaran.