Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tegas menolak penerapan pajak penghasilan satu tarif (flat tax) di Indonesia. Ia menyampaikan penolakan ini dalam acara CNBC Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Sistem Pajak Progresif Indonesia: Menjaga Keadilan Distributif
Sri Mulyani menjelaskan bahwa sistem fiskal Indonesia dirancang untuk mendistribusikan kekayaan secara adil. Hal ini tercermin dalam penerapan sistem pajak penghasilan (PPh) progresif untuk orang pribadi.
Sistem ini menerapkan berbagai lapisan tarif PPh, disesuaikan dengan tingkat pendapatan. Dengan demikian, penghasilan yang lebih tinggi akan dikenakan pajak yang lebih tinggi pula.
Sri Mulyani menekankan asas keadilan dalam hal ini. Ia mencontohkan perbedaan tarif pajak bagi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dan di bawah Rp60 juta per tahun.
Saat ini, Indonesia memiliki lima lapisan tarif PPh orang pribadi: 5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen. Tingkat kelompok pendapatan menentukan tarif pajak yang dikenakan.
Penolakan Flat Tax: Prioritas Keadilan dan Pembangunan Berkelanjutan
Usulan flat tax dari ekonom Amerika Serikat, Arthur Laffer, yang menyarankan tarif rendah dengan basis pajak luas, ditolak Sri Mulyani. Laffer berpendapat flat tax akan meningkatkan pendapatan negara dan menghindari diskriminasi.
Namun, Sri Mulyani menegaskan fungsi distribusi sangat krusial untuk menciptakan kesetaraan. Ia berpendapat bahwa alat fiskal diperlukan untuk menjembatani kesenjangan.
Pemerintah juga menyoroti perbedaan tarif PPh badan di Indonesia (22 persen) dengan negara lain (30-50 persen). Pendapatan pajak digunakan untuk membantu masyarakat miskin mengakses pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Sri Mulyani menambahkan bahwa flat tax tidak akan mampu mengatasi kesenjangan yang ada di Indonesia. Ia menekankan pentingnya sistem yang adil untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Mengenal Flat Tax dan Perbedaannya dengan Sistem Progresif
Pajak penghasilan satu tarif atau flat tax menerapkan tarif pajak yang sama untuk semua lapisan penghasilan. Sistem ini dianggap sederhana dan efisien, tetapi menuai perdebatan.
Berbeda dengan flat tax, sistem progresif menerapkan tarif pajak yang berbeda berdasarkan penghasilan. Sistem ini dianggap lebih adil secara distributif karena beban pajak sebanding dengan kemampuan ekonomi.
Flat tax memiliki karakteristik tarif tunggal, desain sederhana, keadilan horizontal (tarif sama untuk pendapatan sama), dan transparansi. Namun, potensi memperburuk kesenjangan ekonomi menjadi pertimbangan penting.
Meskipun flat tax menawarkan kemudahan administrasi, potensi kerugiannya dalam hal keadilan distributif menjadi perhatian utama. Sistem ini berpotensi membebani kelompok berpenghasilan rendah secara tidak proporsional.
Kesimpulannya, pemerintah Indonesia memilih sistem progresif karena konsisten dengan komitmen pemerataan dan kesejahteraan rakyat. Prioritasnya adalah keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan, bukan semata-mata peningkatan pendapatan negara.