preloader

Tarif AS-China: Selisih Mencengangkan, 55% vs 10%!

Tarif AS-China: Selisih Mencengangkan, 55% vs 10%!

Tensi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas. Meskipun belum ada kesepakatan final, AS memastikan tidak akan menurunkan tarif impor terhadap produk China yang saat ini mencapai 55 persen. China sendiri hanya memberlakukan tarif balasan sebesar 10 persen.

Pernyataan tegas mengenai hal ini disampaikan Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, dalam wawancara dengan CNBC. Ia menyatakan struktur tarif yang ada saat ini tidak akan berubah. Presiden Donald Trump pun mengkonfirmasi hal ini melalui unggahan di Truth Social.

Tarif Impor Tetap Tinggi: 55% dari AS, 10% dari China

Pemerintah AS menjelaskan bahwa tarif 55 persen tersebut merupakan gabungan dari tarif umum 30 persen dan tarif tambahan khusus 25 persen yang telah lama diberlakukan. Ini menunjukkan komitmen AS untuk mempertahankan kebijakan proteksionisnya terhadap produk impor dari China.

Sebaliknya, China mempertahankan tarif balasannya terhadap produk AS pada angka 10 persen. Tarif ini merupakan bagian dari kesepakatan sementara de-eskalasi selama 90 hari yang dicapai setelah pertemuan di Jenewa bulan lalu.

Meskipun ada kesepakatan sementara, banyak isu perdagangan penting yang belum terselesaikan antara kedua negara adidaya tersebut. Ketegangan ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku bisnis di kedua negara.

Persetujuan Akhir Masih Dinantikan

Presiden Trump menyatakan bahwa pembicaraan di London telah menghasilkan “kesepakatan yang sudah selesai.” Namun, implementasi kesepakatan tersebut masih menunggu persetujuan akhir dari dirinya dan Presiden China, Xi Jinping.

Trump mengklaim bahwa China akan memasok magnet dan tanah jarang secara langsung sebagai bagian dari komitmen baru dalam kesepakatan ini. Ia juga menambahkan bahwa dirinya dan Presiden Xi akan bekerja sama untuk membuka pasar China bagi produk-produk AS.

Menteri Lutnick menyebut pembicaraan di London sebagai semacam “gencatan senjata Jenewa”. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, masih ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan yang kompleks antara AS dan China.

Masalah Visa dan Tanah Jarang Memperkeruh Suasana

Sebelumnya, China sempat memperlambat ekspor tanah jarang, yang kemudian dibalas AS dengan pembatasan visa bagi mahasiswa China di universitas-universitas AS. Hal ini semakin memperkeruh hubungan kedua negara.

Lutnick menyebut kedua belah pihak sama-sama merasa kesal dengan situasi tersebut. Namun, ia optimistis bahwa percakapan pribadi antara Trump dan Xi pekan lalu telah mengubah situasi.

Lutnick berharap China segera menyetujui seluruh aplikasi impor magnet dari perusahaan-perusahaan AS. Namun, para pelaku usaha masih ragu terhadap kepastian janji-janji dari pihak China.

Ketidakpastian ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan-perusahaan AS yang bergantung pada impor bahan baku dari China. Mereka membutuhkan kepastian kebijakan yang konsisten untuk dapat merencanakan investasi dan operasional jangka panjang.

Situasi ini menandakan bahwa meskipun ada kesepakatan sementara, perselisihan perdagangan antara AS dan China masih jauh dari selesai. Kedua negara masih perlu melakukan negosiasi yang intensif untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan dan menciptakan stabilitas di pasar global.

Ke depan, perkembangan hubungan bilateral AS-China akan sangat menentukan arah perdagangan global. Langkah-langkah konkret yang diambil kedua negara akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi dunia.

Related Post